“Fatwa Itu Buah Kajian Tuan ! Bukan Igauan Rasian”
Secara sederhana, ada empat langkah yang harus ditempuh dalam melahirkan fatwa (berfatwa/ifta’).
Pertama adalah التصور (al-tashawwur) yaitu pendeskripsian atau penggambaran masalah secara utuh agar jangan keliru dalam meletakkan hukum. Kesalahan dalam menggambarkan masalah bisa berakibat tersalahnya seorang mufti atau pemeberi fatwa dalam memutuskan hukum. Ini lah yang dimaksud dengan ungkapan ulama:
الحكم فرع عن تصوره
“Hukum adalah cabang dari pendeskripsiannya”.
Untuk ini, para mufti maupun mujtahid tidaklah terlarang untuk mempergunakan keterangan pakar yang bisa “dipercaya” agar persoalan yang akan difatwakan menjadi terang benderang.
Kedua adalah التكييف (al-Takyiif) yaitu merekonstruksikan untuk penempatan kasus pada bab yang tepat dalam pembahasan fiqh supaya jangan salah pasang. Kekeliruan dalam hal ini bisa berakibat fatal. Bisa saja persoalan aqidah dimasukkan dalam bab mu’amalah atau persoalan mu’amalah termasukkan dalam bab ibadah. Bisa juga perkara darurat diposisikan dalam masalah ikhtiyar.
Ketiga adalah بيان الأدلة (penjelasan dalil-dalil). Ini dilakukan minimal dengan tiga langkah pula yaitu: جمع الأدلة (jam’u al-adillah) yaitu penghimpunan seluruh dalil semaksimal kemampuan seorang mufti. Kemudian تحقق الأدلة (tahaqquq al-adillah) melakukan verifikasi atau pemeriksaan terhadap dalil sehingga diketahui mana yang bisa menjadi hujjah dan mana yang tidak. Selanjutnya adalah تحقيق الأدلة (tahqiq al-adillah) atau تطبيق الأدلة (tatbiq al-adillah) yaitu penerapan dalil kepada kasus yang akan difatwakan dengan memaksimalkan petunjuk dalil baik dalam dari sisi juziyyat (جزئيات) maupun kulliyyat (كليات) persoalan tsb. Semua itu meliputi pemahaman terhadap petunjuk nash (دلالات النصوص) dan tujuan syari’ah (مقاصد الشريعة) sehingga satu persoalan bisa dilihat dengan sleuruh dalil yabg terkait. Ini semua tentu apabila persoalan itu bukan sesuatu yang telah ada nashnya secara pasti seperti masalah-masalah yang telah menjadi pengetahuan umum dan mendasar (المعلوم من الدين بالضرورة).
Keempat adalah langkah terakhir yaitu الإفتاء (al-ifta’) yaitu menyampaikan fatwa atau memberikan jawaban atas persoalan. Ini juga harus dilakukan dengan adab dan format yang telah diterapkan oleh para ulama baik dalam bentuk ringkas maupun berpanjang-panjang.
Format yang diterapkan ulama dalam hal ini, akan bebrwda sesuai dengan sejauh mana ulama tersebut memandang fungsi fatwa apakah ia hanya sebatas jawaban atau di dlaamnya terdapat unsur ta’lim dan dakwah.
Karena begitu luas dan beratnya tugas berfatwa sebagaimana penjelasan langkah-langkah yang harus ditempuh dalam uraian sederhana di atas maka ijtihad kolektif (اجتهاد جماعي) merupakan langkah yang paling tepat untuk memaksimalkan kajian dan pembahasan serta meminimalkan kekeliruan dalam berfatwa.
Inilah yang selama ini dilakukan oleh MUI !!!!
Kalau demikian adanya, cobalah merenung wahai aparat hukum !
Fatwa yang dilahirkan dengan ijtihad kolektif kemudian saudara-saudara nilai validasi atau keabshahannya dengan pendapat orang perorang yang tidak bersentuhan dengan keilmuan yang mutlak dibutuhkan dalam berfatwa walaupun bergelar Prof, Buya, Kiyai dan lainnya.
Cukuplah sandiwara yang saudara-saudara mainkan dengan menyingkirkan rasa keimanan dan melecehkan lembaga yang masih tersisa dalam memperjuangkan marwah umat ini di tengah kebersamaan dalam Negara Republik Indonesia yang kita cintai ini.
Selamatkan Fatwa MUI dari Kejahilan Oknum Penegak Hukum !!!
Sumber : Facebook Buya Gusrizal Gazahar (Ketua MUI Sumatera Barat)

Klik : WA Grup & Telegram Channel
