“Sumpah Sati Bukik Marapalam Jilid 2”
Bila mengingat Allah swt tersuruh setiap pagi dan sore bahkan setiap saat untuk mengukuhkan terus janji dengan Allah swt maka tentu komitmen untuk saling menegakkan dakwah agar terwujud “Izzul Islam wal Muslimin” di Ranah Minang juga perlu, bahkan harus diperbaharui !
Kondisi negara saat ini dengan berbagai dinamikanya, sudah sangat menuntut masyarakat Ranah Minang baik yang di ranah maupun yang di rantau untuk kembali mengumandangkan lagi dan memperbaharui kembali sumpah sati Bukik Marapalam yang terasa mulai tergerus oleh perkembangan zaman.
Bila dibiarkan dinamika yang ada saat ini menerabas seluruh sendi-sendi kemuliaan umat Islam ranah Minang, saya khawatir kita akan termasuk dalam kelompok “orang-orang fasiq” dalam firman Allah swt:
{الَّذِينَ يَنقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِن بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَن يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ} [البقرة : 27]
” (yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi.” (QS. al-Baqarah 2:27)
Apakah menguatkan kembali “Sumpah Sati Bukik Marapalam” itu perlu ?
Mungkin pertanyaan itu yang akan muncul pertama kali dari mereka yang mendengar gagasan ini.
Saya katakan, “bukan lagi perlu tapi harus”.
Kalau Keimanan saja disuruh untuk diperbaharui oleh Rasulullah saw:
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رض قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: جَدّدُوْا اِيْمَانَكُمْ. قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ وَ كَيْفَ نُجَدّدُ اِيْمَانَنَا؟ قَالَ: اَكْثِرُوْا مِنْ قَوْلِ لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ. احمد باسناد حسن و الطبرانى
“Dari Abu Hurairah ra, beliau berkata : Rasulullah saw bersabda, “Perbaruilah iman kamu sekalian !”. Beliau saw ditanya, “Ya Rasulullah, bagaimana caranya kami memperbarui iman kami ?”. Rasulullah saw menjawab: “Perbanyaklah mengucapkan Laa ilaaha illallooh”. [HR. Ahmad dengan Sanad Hasan dan Thabrani].
Apatah lagi perjanjian baik yang telah mulai terlupakan oleh generasi hari ini sehingga masing-masing telah merasa hebat dengan perannya tanpa mempedulikan tujuan bersama sebagai suatu “bai’at” untuk kemuliaan bersama.
Saatnya bergerak “Menuju Sumpah Sati Bukik Marapalam Jilid Dua” yang saya sebut sebagai “Bai’at Bukik Marapalam”.
Semua ini saya sampaikan tak lebih dari mengamalkan firman Allah swt:
ۚ إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ ۚ وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّهِ ۚ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ [هود : 88]
“…yang aku inginkan hanyalah “ishlah” memperbaikai sejauh kemampuanku dan tiada taufiq bagiku melainkan dengan Allah. Kepada-Nya aku bertawakkal dan kepada-Nya pula aku kembali”. (QS. Hud 11:88)
Wallahu a’lam.
* Tambahan redaksi :
Dalam adat Minangkabau, Sumpah Satie Bukik Marapalam yang dimaksud adalah Falsafah Adat Minangkabau yang berbunyi “Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah”. Syara’ mangato-Adat mamakai. Adat yang buruk dibuang, adat yang baik dipakai. Syara’ jo adat bak aua jo tabiang-sanda manyanda kaduonyo.
Maksudnya, adat Minangkabau itu didasarkan pada agama Islam dan agama berdasarkan kitabullah atau Alquran. Agama memberikan fatwa, adat melaksanakannya. Adat yang baik adalah sesuai dengan norma-norma Islam, harus dipertahankan. Sementara adat yang buruk, yang bertentangan dengan Islam, harus dibuang. Antara syara’ (agama) dan adat tidak dipertentangkan sebagai filosofi pandangan hidup orang Minangkabau.
Sumber : Facebook Buya Gusrizal Gazahar (Ketua Umum MUI Sumatera Barat)