Sertifikasi Ustadz & Muballigh.
Gonjang ganjing masalah perlukah sertifikasi muballigh, atau khatib masjid atau penceramah media, baik cetak, stasiun televisi, atau radio dan juga tentunya media sosial, menarik kontroversi besar. Pro dan kontra tidak dapat dielakkan, namun sejatinya bila tema ini dikaji secara mendalam, tentu akan menghasilkan satu kesimpulan yang lebih moderat dan tepat.
Membiarkan semua orang naik ke mimbar sebagai khatib sholat jum’at, tampil di mass media, atau menerbitkan fatwa yang disimak oleh masyarakat luas tentu sikap yang salah. Bukan sekedar salah bahkan bisa membahayakan keutuhan dan keselamatan agama masyarakat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
(إِنَّ اللَّهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا ، يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ ، حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا ، اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوا ، فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ ، فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا ) متفق عليه
“Sesungguhnya Allah tidaklah mengangkat ilmu dengan cara mencabutnya dari manusia. Akan tetapi Ia mengangkat ilmu dengan cara mematikan para ulama’. Bila Allah tidak menyisakan lagi seorang ulama’-pun, niscaya manusia akan mengangkat orang-orang bodoh sebagai pemimpin mereka, kemudian mereka ditanya, dan merekapun menjawab dengan tanpa ilmu, maka merekapun tersesat dan menyesatkan”. Muttafaqun ‘alaih.
Perlu disadari bahwa ilmu bukan hanya sekedar mampu membaca atau menghafal ayat atau hadits, namun juga kemampuan menganalisa atau menerapkan dalil dengan tepat sesuai dengan metodologi yang telah ditetapkan dalam disiplin ilmu ushul fiqih.
Pada realitanya, betapa banyak orang yang mengetahui dalil namun salah dalam berdalil alias meletakkan dalil, sehingga mereka menerapkan dalil secara parsial, dan tidak sesuai kaedah kaedah keilmuan Islam (ushul fiqih dan lainnya). Akibatnya produk hukum yang mereka lahirkan cacat, dan menyesatkan.
Di sisi lain, ada pula sebagian muballigh yang siap menerima orderan fatwa, membolak balikkan dalil sesuai dengan pesanan para pemodal, mereka menyeru kepada persamaan agama, membela kesetaraan gender, pornografi dan lainnya.
Sungguh benar ucapan seorang ulama’ Madinah kala itu yang berkata:
لبعض من يفتي هاهنا أحق بالسجن من السراق
Sungguh sebagian yang berfatwa di sini lebih layak untuk dipenjara dibanding para pencuri.
Dan banyak pula muballigh yang hanya bermodalkan kemampuan membuat lelucon, dan wajah tampan atau cantik, lalu sesuka hatinya menerbitkan fatwa seakan dirinya seorang ulama’ besar.
Dahulu Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah pernah menyatakan:
ما علمنا المجمل من المفسر ولا ناسخ الحديث من منسوخه حتى جالسنا الشافعي
Kami belum mampu membedakan antara dalil yang bersifat mujmal/global dari yang terperinci, tidak pula hadits yang nasikh(menganulir) dari dalil yang teranulir hingga kami berguru kepada As Syafii.
Andai sebagian muballigh yang tampil di media baik cetak, atau televisi atau radio bercermin kepada pengakuan Imam Ahmad ini, niscaya meeka malu kepada dirinya sendiri.
Sebagaimana mengekang ulama’ dari menyampaikan ilmu juga petaka besar, karena itu berarti menghalangi jalan Allah Ta’ala. Yang demikian itu karena para ulama’ berkewajiban menyampaikan ilmunya kepada semua masyarakat.
Sahabat Abdullah bin ‘Amer bin Al ‘Ash meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
(مَنْ كَتَمَ عِلْمًا أَلْجَمَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِلِجَامٍ مِنَ النَّارِ) رواه ابن حبان والحاكم وغيرهما
“Barang siapa yang menyembunyikan ilmu, niscaya kelak pada hari qiyamat, ia akan dikekang dengan kekang yang terbuat dari api neraka.” Riwayat Ibnu Hibban, Al hakim dan lainnya.
Karena itu sertifikasi muballigh dapat digambarkan sebagai pisau bermata dua, bila salah penerapan dapat menjadi sumber petaka.
Selain sertifikasi yang memang menjadi satu kebutuhan, maka ada hal lain yang juga sangat urgen untuk dicermati bersama, yaitu kontribusi pemerintah dalam mengajarkan ilmu agama yang benar dalam porsi yang cukup dan sebanding dengan kebutuhan masyarakat.
Bila ternyata pengajaran agama dimarjinalkan, lalu para muballigh dibatasi, lembaga pendidikan Islam dibiarkan berjuang mempertahankan hidupnya sendiri maka sertifikasi bisa saja dimaknai sebagai upaya halus namun sadis untuk menumpas kebebasan beragama Islam secara sistemik.
Karenanya, masalah sertifikasi adalah satu kebutuhan yang perlu ditindak lanjuti secara serius dengan memperhatikan beberapa hal berikut:
1) Melibatkan para pakar dan ulama’ yang benar benar mumpuni, dari berbagai elemen ummat Islam.
2) Jauh dari muatan politik apalagi pesan sponsor.
3) Dengan tolok ukur yang jelas dan obyektif.
4) Dilakukan di seluruh daerah.
5) Diiringi dengan peningkatan fasilitas dan dukungan pada kaderisasi muballigh dan ulama’
Semoga Allah Ta’ala menurunkan taufiq dan hidayah-Nya kepada pemerintah kita agar dapat bersikap secara proporsional dan tepat dalam masalah yang sangat besar ini. Wallahu Ta’ala A’alam bisshawab.
Oleh : Ustadz DR. Muhammad Arifin Badri, MA