Moslemtoday.com : Langkah Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo yang tak menonaktifkan Basuki Tjahaja Purnama ( Ahok) sebagai gubernur DKI Jakarta dipertanyakan oleh sejumlah pihak. Hal ini menyusul kembalinya Ahok setelah masa cuti kampanye pilkada pada 11 Februari besok. Apalagi, Ahok menyandang status terdakwa dalam kasus dugaan penodaan agama.
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, seorang pejabat pemerintah daerah yang berstatus terdakwa seharusnya dinonaktifkan.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menjelaskan alasan dirinya tak kembali menonaktifkan Ahok dari jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta. Dia mengatakan, status terdakwa memang tak perlu dinonaktifkan. Sebab, Ahok akan dinonaktifkan apabila pengadilan telah mengeluarkan tuntutan.
“Semua Gubernur yang ada selama saya Mendagri kayak Gorontalo, dia dituntut di bawah 5 tahun, dan dia tidak ditahan maka tidak diberhentikan. Kalau ada pejabat yang kena OTT (Operasi Tangkap Tangan) kan ditahan, ya diberhentikan. Pejabat terdakwa, ditahan, diberhentikan sementara,” kata Tjahjo di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Sebagaimana dikutip dari Merdeka, Sabtu, (11/2).
Maka dari itu, Tjahjo mengatakan, menunggu apa tuntutan yang diberikan oleh pengadilan terhadap Ahok. Dia mengatakan, apabila Ahok dituntut kurungan lebih 5 tahun, maka Ahok akan diberhentikan sementara sampai menunggu hukuman tetap. Sebaliknya, apabila dituntut di bawah lima tahun, Ahok tidak diberhentikan sampai keputusan hukum tetap.
“Saya tunggu tuntutan Jaksa resmi dulu. Jaksa menuntut kan tidak alternatif A dan B kan nggak. Sudah pasti satu,” ujarnya.
Sebelumnya, Wakil Ketua DPR Fadli Zon menilai, sikap Mendagri tersebut diskriminatif. Dia berharap seharusnya Mendagri memperpanjang masa penonaktifan Ahok dari jabatan Gubernur DKI Jakarta.
“Menurut saya ini adalah satu tindakan yang diskriminatif, seharusnya mendagri sudah memperpanjang cuti saudara Ahok,” kata Fadli di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (9/2).
Fadli mengacu pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Seorang pejabat, kata dia, pemerintahan yang berstatus terdakwa harus segera dinonaktifkan dari jabatannya.
“Seorang pejabat dari Pemerintah daerah yang berstatus terdakwa dia harusnya dinonaktifkan, begitu perintah UU,” katanya.