“Pakai Nggak Pakai, Tetap Begitu”
Kata “pakai” bisa menunjukkan makna positif dan bisa menunjukkan makna negatif.
Khusus untuk penggunaan kata “pakai” dalam kalimat أهوك adalah “negatif” karena mengandung celaan kepada siapa saja yang menjadikan ayat itu sebagai dalil untuk melarang umat Islam memilih pemimpin kafir.
Indikasi atau “أمارة” yang menunjukkan “negatif”nya penggunaaan kata “pakai” oleh أهوك adalah kalimat “dibohongi”.
Indikasi kedua yang tak bisa dipungkiri adalah “dia bukan orang yang memgimani kitab suci (Al-Qur’an) itu”
Indikasi ketiga adalah dia sampaikan kepada umat yang berbeda aqidah dengannya.
Indikasi keempat acara yang dihadirinya tidak bersangkut paut dengan pembicaraannya yang menistakan Al-Qur’an dan ulama tsb.
Indikasi kelima, أهوك dengan sengaja mengalihkan pembicaraan ke arah itu bila dilihat dari redaksi pidatonya.
Indikasi ke enam, أهوك telah mendapat informasi pandangan ulama tentang penafsiran ayat tsb dan dia memilih penafsiran yang disukainya karena kepentingannya padahal itu sama sekali tidak menjadi haknya dan itu tentu mengarah kepada “tahrif” penyelewengan maksud ayat Allah swt karena dia memakai ayat dan penafsiran sesuai seleranya untuk kepentingannya sedangkan ayat itu tidak dia imani sebagai wahyu Allah swt.
Sebenarnya Kalau secara harfiyyah saja memahami pernyataan أهوك, apakah ada kata “pakai” atau tidak, tetaplah penistaan dan mestinya juga tak perlu ada perdebatan tentang terjemahan maupun penafsirannya.
Coba dengarkan dengan baik !
Si أهوك tidak pernah menyebut kata tafsir atau terjemahan surat al-Maidah 51 tapi kalimatnya “dibohongin pakai al-Maidah 51, …”.
Jadi jelas sekali bahwa ayat itu dianggapnya sebagai kebohongan dan orang yang memyampaikannya adalah membohongi.
Adapun pertanyaan seorang umat kepada saya tentang kalimat “mendakwahkan ayat” dengan kalimat “berdakwah pakai ayat”, bisa dijelaskan senagai berikut:
Bila kata “pakai” dipergunakan untuk makna positif, tidak akan merubah maksud karena kalau mendakwahkan ayat dalam artian membacakannya saja, itu dilakukan oleh “qari” yang membacakannya kepada orang lain.
Namun bila yang dimaksud adalah mendakwahkan ayat dengan menjelaskan maksudnya yang biasa dilakukan para da’i maka ada atau tidak adanya kata “pakai”, tidak akan merubah maksud hakiki dari kalimat.
Tapi bila kata “pakai” dipergunakan untuk tujuan negatif “penyalahgunaan” (سوء الاستعمال) yang sering diungkapkan oleh ulama dengan “كلمة الحق أريد بها الباطل” (kalimat yang hak dipakai untuk tujuan yang bathil), tentu ada perbedaan antara kalimat “mandakwahkan ayat dengan berdakwah pakai ayat”.
Adapun urusan kalimat si أهوك, ada atau tidak adanya kata “pakai”, tidak akan merubah substansi. Si أهوك telah mengucapkan dengan sadar kalimat penistaan terhadap ayat Al-Qur’an, penistaan terhadap ulama dan penghinaan terhadap umat Islam.
Di sini bukan lagi pada posisi maaf-memaafkan tapi pada posisi hukum harus ditegakkan !
Bagi siapa yang memakai dalil-dalil maaf dan penaklukan kota Makkah (فتح مكة) sebaiknya menyadari kekeliruan mereka karena itu adalah “pengutipan peristiwa sejarah dengan maksud pembenaran”.
Penerapan kisah maaf fathu makkah (penaklukan kota Makkah) kepada si أهوك adalah penggunaan yang keliru karena أهوك tidak pernah bertaubat dan tidak meminta maaf melainkan setelah kasus sampai ke penegak hukum.
Para pembela mestinya juga memahami kisah Ka’ab Ibn al-Asyraf, kisah Bani Qainuqa’ dan juga Kisah Bani Quraizhah yang kesemua unsur kisah-kisah itu ada pada sikap si أهوك.
Semoga ini difahami oleh mereka yang terus membela أهوك dan tega mengorbankan umat dan bangsa ini.
Wallahu a’lam.
Sumber : Fanspage Buya Gusrizal Gazahar