Sepuluh Muharam atau hari Asyura merupakan hari bersejarah. Menurut beberapa riwayat disebutkan: banyak peristiwa penting terjadi di hari itu di masa lalu. Tiga di antaranya disebutkan: 1) Nabi Adam AS bertobat kepada Allah dari dosa-dosanya, dan tobatnya diterima oleh Allah; 2) Nabu Nuh AS melabuhkan kapalnya di bukit Zuhdi dengan selamat; 3) Nabi Ibrahim AS selamat dari siksa Namrud berupa api yang menyala-nyala. Masih banyak lagi peristiwa lain yang terjadi di hari itu yang menunjukkan sebagai hari yang penuh dengan keajaiban dan hikmah yang berharga.
Ada satu riwayat yang menjelaskan: saat Nabi Muhammad berhijrah ke Madinah, beliau menjumpai orang-orang Yahudi mengerjakan puasa Asura. Nabi pun bertanya kepada mereka tentang alasannya. Mereka menjawab: “Allah telah melepaskan Musa dan umatnya pada hari itu dari (musuhnya) Fir’aun dan bala tentaranya, lalu Musa pada hari itu dalam rangka bersyukur kepada Allah.” Nabi Bersabda: “Aku lebih berhak terhadap Musa daripada Mereka .” Maka Nabi pun berpusasa di hari itu dan menyuruh para sahabatnya agar berpuasa juga” (HR Bukhari, No. 1865; Muslim, No. 1910).
Uraian di atas menunjukkan: hari Asyura merupakan hari bersejarah yang dikenang dan diagungkan dari masa ke masa. Kita hendaknya menyambut hari tersebut dengan mengambil pelajaran yang bermanfaat. Tentu untuk melakukannya mesti mengikuti tuntunan Rasulullah agar berada di jalan yang lurus.
Kebanyakan praktik-praktik keagamaan itu merupakan amalan yang dilakukan secara berulang pada waktu-waktu tertentu. Satu di antaranya adalah puasa. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, puasa adalah tindakan sukarela dengan berpantang dari makanan, minuman, atau keduanya, perbuatan buruk dan dari segala hal yang membatalkan puasa untuk periode waktu tertentu. Umat muslim berpuasa wajib selama sebulan setiap tahun, yang dikenal dengan puasa Ramadan.
Di samping, banyak puasa sunah yang dianjurkan dalam agama Islam, yang utama adalah puasa di setiap hari Asyura. Mengenai keutamaan puasa Asyura tersebut, Rasulullah menjelaskan: “Sesungguhnya salat yang terbaik setelah salat fardu adalah salat tengah malam dan sebaik-baik puasa setalah puasa Ramadan adalah puasa di bulan Allah yang kamu menyebutnya bulan Muharam” (HR. Nasa’i, No. 1614). Tentu, untuk menunaikannya ada syarat dan rukun yang mesti dipenuhi. Serupa itu juga umat-umat beragama yang lain.
Tujuan utama dari pengulangan ini: untuk menyediakan suatu mekanisme permanen sebagai pengingatan. Maka kita sering mendengar mengapa para rohaniwan menekankan kepada para pengikutnya untuk menjalankan praktik-praktik keagamaan yang sudah ditentukan secara teratur dan menjadikannya sebagai suatu kebiasaan. Menyesuaikan suatu praktik keagamaan sebagai suatu kebiasaan jelas merupakan suatu perilaku yang baik tetapi kesalehan ini sekaligus merupakan suatu masalah. Bahkan terkadang suatu kebiasaan yang baik dapat menciptakan kesulitan-kesulitan. Mari kita coba untuk membacanya dari sudut pandang ilmu perilaku.
Titik perhatian kita adalah puasa yang biasanya dilakukan muslim setiap hari kesepuluh bulan Muharam setiap tahun. Hal ini dengan pertimbangan-pertimbangan: pertama, mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim; kedua, sebagai implikasinya, mayoritas pemimpin publik di negeri ini adalah juga muslim; ketiga, membayangkan bahwa yang mayoritas itu sanggup memberi teladan dalam kesalehan. Bagi yang non muslim tidak perlu khawatir walaupun tidak menjadi pusat perhatian dalam diskusi yang terbatas ini. Kita bisa sama-sama mengambil manfaat dari tulisan ini dalam rangka memperbaiki tata hidup bersama kita sebagai bangsa!
Dalam Dictionary of Behavioral Science (1989), kebiasaan didefinisikan sebagai suatu tindakan yang diperoleh dan dipraktikkan secara teratur dengan sedikit kontrol sukarela. Puasa diperoleh karena muslim mempelajarinya di rumah-rumah mereka dan di masjid-masjid.
Puasa dipraktikkan secara teratur sebagaimana yang ditentukan di dalam Quran maupun Sunah. Persoalannya tampak tatkala menunjuk pada komponen ketiga dari kebiasaan: sedikit kontrol sukarela dengan puasa dapat menciptakan pertentangan-pertentangan dengan tujuan pokoknya.
Faktanya, meskipun muslim disunahkan untuk melakukan puasa pada hari Asyura, bahkan puasa Ramadan, tetap merupakan suatu praktik sukarela. Karenanya, tak seorang pun dapat dihukum untuk ketidaktaatannya sebagaimana hukuman yang dikenakan pada kasus-kasus perzinaan dan perjudian pada negara-negara yang berasaskan Islam. Dalam pengertian ini, puasa sebagai suatu praktik tidak cukup dipertimbangkan melulu sebagai suatu kebiasaan.
Kebiasaan berhubungan dengan suatu respon spesifik dan spontan pada suatu stimulus yang ada. Dalam pengertian ini, salat juga tidak lebih dekat dengan kebiasaan. Muslim tidak mendirikan salat melulu sebagai suatu respon pada stimulus tersebut. Mereka melakukannya secara ketat sesuai dengan format dan skedul yang sudah ditentukan.
Stimulus internal dan eksternal tidak akan memengaruhi pengaturan-pengaturan ini, walaupun kualitas sembahyang itu mungkin dipengaruhi. Jika saya tegaskan: suatu amalan baik seperti salat tidak harus menjadi suatu kebiasaan, paling tidak secara harfiah, mungkin pembaca merasa ada sesuatu yang aneh.
Untungnya, ilmu perilaku menyajikan lebih dari satu konsepsi mengenai kebiasaan. Kita dapat mengamankan paradoks tersebut dengan mengingat hasil karya J. Dewey (1989). Ia membedakan antara kebiasaan rutin (routine habit) dengan kebiasaan cerdas (intelligent habit). Yang pertama menyediakan penyesuaian pada suatu lingkungan yang kurang-lebih statis. Sedangkan yang terakhir membimbing individu pada suatu penyesuaian yang lebih baik pada suatu situasi yang berubah.
Berkenaan dengan kategori ini, kita dapat melihat: puasa, dalam bentuk aslinya, tidak diperkenalkan sebagai suatu kebiasaan rutin, tetapi sebagai suatu kebiasaan cerdas. Untuk itu, paling tidak waktu-waktunya, bentuk-bentuk dan bahkan tingkatannya tidak tetap statis tetapi merefleksikan pada penyesuaian yang lebih baik pada situasi dan kondisi yang tengah berubah. Kelenturan ini masih dapat dirasakan dalam banyak cara.
Pertanyaannya: seberapa banyak muslim di Indonesia, khususnya para pemimpin di negeri ini baik yang ada di lembaga eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, yang melaksanakan puasa sebagai suatu kebiasaan cerdas. Jika kita semua dapat mendirikannya sebagaimana katagori kedua tersebut, bukan isapan jempol: kita akan menjadi lebih kreatif dalam mewujudkan amanah reformasi dan mencari jalan keluar dari krisis kebangsaan yang belum padam sebagai efek dari kontestasi politik tahun 2019.
Faktanya: agenda reformasi tersebut, yang semestinya sudah tertata dengan baik sejak kepemimpinan Gus Dur, sekarang menjadi tidak jelas arah kiblatnya. Bahkan krisisnya pun terasa mulai disulut kembali menjelang kontestasi politik 2024 dengan menebar aroma politik identitas yang sangat purba. Kenyataan ini mestinya segera menyadarkan kita semua untuk merekonstruksi kebiasaan hidup kita yang pilarnya adalah puasa. Jika tidak, keterbelahan bangsa ini akan menjadi semakin parah. Fakta tersebut akan menjadi daya tarik bagi bangsa lain untuk menari di atas altar penderitaan kita. Bagaimanapun, kebaikan tata hidup kita dalam berbangsa tidak hanya ditentukan oleh keyakinan tetapi juga ditentukan oleh kerja yang cerdas.
Tiga peubah fundamental ini – kesatuan, kesetaraan, dan kesejahteraan – merupakan risalah Islam yang dibawa oleh nabi-nabi Allah untuk diajarkan kepada umat manusia, dan secara estafet menjadi tanggung jawab kita sebagai khalifah di muka bumi ini. Ketiganya tercakup di dalam amalan puasa yang memenuhi kriteria sebagai kebiasaan cerdas itu.
Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara kini dan ke depan, faktor yang pertama dapat diartikan sebagai suatu ketaatan kepada Allah semata. Kontra skenarionya: mereka yang menduakannya, memformat ketaatan kepada manusia tanpa ada suatu gayutan yang jelas pada Yang di Atas, atau pengkultusan seorang tokoh, memperlakukan manusia lain secara represif, dan sengaja mengabaikan atau tidak serius menghargai eksistensi nilai-nilai kemanusian.
Pemerintah semestinya pantang bertindak represif terhadap rakyatnya dan berbuat persekusif terhadap para oposannya, tetapi rakyat juga harus berlaku sopan terhadap pemimpinnya. Namun sayangnya, kita cenderung beraksi seperti pegulat, barang siapa yang berbeda dengan kita (utamanya perbedaan kepentingan politik) yang ada dekat atau mendekat pada kita akan kena banting atau dibanting. Karenanya mudah dipahami mengapa kita sampai saat ini masih berada dalam gelanggang reformasi yang jungkir balik dengan gong krisis kebangsaan yang terus berdengung.
Faktor yang kedua dapat dimaknai sebagai suatu kecintaan kita kepada sesama manusia yang sederajat di sisi Tuhan. Sebagai implikasinya, keberadaan kita sebagai satu nusa dan bangsa, persatuan kita sebagai suatu negara yang berdaulat untuk membangun suatu masyarakat Islam (bukan negara Islam), merupakan suatu keniscayaan historis.
Sayangnya, masih ada komponen-komponen bangsa ini yang secara politik masih keblinger dengan keampuhan semu dari formalitas keyakinan untuk mengatasi persoalan bangsa ini yang ditakdirkan plural.
Kesadaran ini menjadi penting dalam rangka mengantisipasi infiltrasi nilai-nilai dari sumber global yang acap tidak sejalan dengan kedaulatan kita sebagai bangsa dan disintegrasi baik dalam arti teritorial maupun kekuasaan dari daerah-daerah yang bisa bertali temali dengan pelaksanaan otonomi daerah yang belum sepenuhnya andal.
Faktor yang ketiga dapat dijabarkan sebagai suatu komitmen kita terhadap kesejahteraan bersama dalam bingkai kesetaraan tersebut. Secara khusus kesejahteraan rakyat secara individual harus datang pertama sebelum kesejahteraan pemimpin datang, apalagi berlebihan, di luar fasilitas dinas untuk penyelenggaraan negara (Usul Fiqh). Ini harus menjadi sandangan para pemimpin publik karena merupakan basis moral bagi legitimasi kebijakan-kebijakannya.
Sayangnya, para pemimpin publik di negeri ini, baik yang ada di lembaga eksekutif, yudikatif, maupun legislatif, cukup banyak yang tidak sanggup menahan diri, menjadi korup dan mengorupkan orang lain. Karenanya mudah dimengerti mengapa kebijakan publik yang dibuatnya, baik yang rasional, apalagi yang kontroversial dan tidak popular, mudah sekali menuai badai demonstrasi, seperti yang merebak belakangan ini.
Pemikiran ini tentu relatif kebenarannya. Puasa, yang pada mulanya merupakan suatu kebiasaan cerdas, tampak sekarang pada umumnya dilakukan sebagai suatu kebiasaan rutin dan bahkan telah direduksi menjadi suatu ritual semata. Karenanya puasa memberi dampak yang kecil pada pembangunan karakter dari siapa yang melakukannya, secara teratur sekalipun. Menghidupi puasa ke dalam bentuk aslinya, tanpa membuang makna penting esensi dan semangatnya, sebagaimana yang ditentukan secara murni oleh Rasulullah dapat menyediakan suatu solusi bagi tata hidup kita sebagai satu bangsa, Indonesia.
Sebagai catatan pamungkas: cendekiawan muslim dapat memainkan peranan penting dengan mendidik massa keduanya baik mengenai perbedaan-perbedaan waktu, bentuk yang sudah ditentukan maupun makna-maknanya. Prakondisinya untuk tata hidup kita sebagai bangsa tetap membaca, kelenturan, dan toleransi – merupakan praktik-praktik yang perlu terus digalakkan dalam masyarakat Islam di Indonesia.
Penulis : Mohammad Suud (Dosen Tetap Kewarganegaraan di Universitas Wijaya Kusuma Surabaya)

Klik : WA Grup & Telegram Channel
