Moslemtoday.com : Belakangan masyarakat nasional heboh soal surat edaran larangan bercadar di kampus Universitas Islam Negeri (UIN). Pernyataan dan sikap kontra tak hanya ditunjukkan oleh warganet yang mengetahui isu viral di media sosial ini, bahkan anggota DPR-RI sampai DPRD Kota Padang; Komnas HAM sampai Ombudsman turut lantang mengingatkan pihak kampus agar tidak menerapkan apa yang dimuat dalam edaran tersebut karena kontennya bersifat melanggar Hak Asasi Manusia.
Buah dari itu semua, edaran larangan mahasiswi mengenakan cadar di UIN Sunan Kalijaga Yogyakartapundicabut. Surat pencabutan ini bernomor B-1679/Un.02/AK.00.3/03/2008, berbeda dengan yang dilakukan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi dengan kebijakan serupa.
Melalui Surat Edaran tertanggal 20 Februari 2018 yang salah satunya ditandatangani oleh Dr.Nunu Burhanuddin, Lc, M.Ag, dan diedarkan di lingkungan Faultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Bukittinggi ditegaskan, di item ke-dua bahwa mahasiswi IAIN Bukittinggi harus memakai pakaian agak longgar, jilbab tidak tipis dan tidak pendek, tidak bercadar/masker/penutup wajah, dan memakai sepatu serta kaos kaki.
Pada poin ketiga bahkan ditekankan bahwa pihak kampus tidak akan memberi layanan akademik bagi mahasiswi yang tidak mengindahkan hal tersebut.
Saat Metrans mendatangi pihak kampus, pihak kampus membenarkan adanya edaran yang dimaksud. Namun demikian, hal tersebut, dinyatakan semata-mata untuk merealisasikan kandungan kode etik yang dianut kampus.
“Perempuan menggunakan cadar di lingkungan kampus kami memang tidak membenarkan karena kita harus tahu siapa orang yang masuk ke dalam. Kita tidak pernah melarang orang menggunakan cadar. Tapi itu untuk di luar. Untuk masuk ke kampus, sesuai kode etik Kita, dibuka wajah. Wajah kan bukan aurat,” jelas Wakil Rektor III Nuraisyah, pada Metrans saat Metrans berkunjung ke kampus tersebut baru-baru ini.
Nuraisyah menyatakan, berdasarkan kode etik yang ditetapkan kampus, siapapun yang berurusan dengan kampus harus jelas.
“Kita tidak punya waktu untuk memeriksa wajah,” ujar WR III IAIN Bukittinggi ini.
Tidak hanya mahasiswi, larangan bercadar, disebutnya, juga berlaku bagi dosen yang mengajar di sana.
“Kemaren itu dosen kita kan begitu. Pernah ada orang yang “mengganggu”. Dosen tersebut saat itu kemudian tidak boleh masuk kelas… Apalagi dia mengajarkan Bahasa Inggris. Untuk Speaking kan harus kelihatan mulut,” tambahnya.
Dihadapkan dengan UUD 1945, WR III ini menyebutkan bahwa apa yang diterapkan oleh IAIN Bukittinggi sama saja dengan yang diterapkan di militer bagi para anggota TNI, yang punya kode etik berpakaian.
“Kita tidak pernah menentang agama kita. Kode etik yang kita buat ini bertentangan ga dengan agama? Tidak bertentangan. Kalau masuk kelas, pakai cadar tidak bisa. Di luar IAIN silahkan,” ucapnya.
Sementara, terkait pengajaran Bahasa Inggris di perkuliahan, diwawacara terpisah oleh Metrans, seorang dosen Bahasa Inggris di Politeknik Negeri Padang, Difiani Apriyanti, menyatakan tidak masalah menghadapiPronunciation mahasisiwnya yang bercadar.
“Di kampus Saya ada mahasiswa yang bercadar, ada juga dosen yang bercadar. Bagi Saya, Saya tidak mau melarang apapun yang mereka putuskan dalam kehidupan mereka,” ujar Difi. (yyn)
Sumber : Metroandalas.co.id