Makkah – Kementerian Agama (Kemenag) memberikan penjelasan terkait kebijakan penempatan jemaah haji Indonesia di Makkah yang tidak lagi berdasarkan kelompok terbang (kloter). Kebijakan ini merupakan penyesuaian terhadap sistem baru yang diterapkan Pemerintah Arab Saudi dalam penyelenggaraan layanan haji tahun 2025.
Direktur Layanan Haji Luar Negeri Kemenag, Muchlis Hanafi, menjelaskan bahwa idealnya jemaah dalam satu kloter dilayani oleh satu perusahaan penyedia layanan haji (syarikah) dan ditempatkan di satu hotel yang sama. Namun, terdapat sejumlah kendala yang menyebabkan hal itu tidak dapat diterapkan sepenuhnya.
“Terkait kloter campuran ini, satu kloter terdiri dari jemaah berbagai syarikah. Kita tahun ini penyediaan layanan haji bagi jemaah kita di Arab Saudi dilakukan oleh delapan syarikah. Idealnya satu kloter dilayani satu syarikah, one kloter one syarikah. Idealnya begitu,” ujar Muchlis dalam konferensi pers di Kantor Daerah Kerja Makkah Petugas Haji Indonesia, Ahad (11/5/2025).
Salah satu kendala utama adalah keterlambatan penerbitan visa haji bagi sebagian jemaah, sehingga menyebabkan satu kloter terpecah dan dilayani oleh lebih dari satu syarikah. Meski demikian, Kemenag telah berupaya agar jemaah tetap diinapkan dalam satu hotel yang sama saat berada di Madinah, meskipun ditangani oleh syarikah yang berbeda.
Namun, lanjut Muchlis, sistem layanan di Makkah yang berbasis syarikah mewajibkan penempatan jemaah di hotel yang ditentukan oleh masing-masing penyedia layanan. Hal ini menjadi penyebab utama jemaah dari satu kloter menginap di beberapa hotel yang berbeda.
“Karena layanan di Makkah ini berbasis syarikah maka konsekuensinya penempatan jemaah di hotel juga disesuaikan berdasarkan syarikah penyedia layanan,” jelas Ketua Petugas Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) ini.
Muchlis menegaskan bahwa perubahan sistem ini tidak akan mengurangi hak jemaah haji Indonesia. Seluruh layanan, mulai dari akomodasi, konsumsi hingga transportasi, akan tetap diberikan sesuai standar yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Arab Saudi dan Kemenag.
Ia juga menyampaikan bahwa sistem berbasis syarikah justru akan meningkatkan efektivitas pelayanan, terutama saat puncak pelaksanaan ibadah haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armuzna). Menurutnya, seluruh layanan di fase Armuzna sepenuhnya berada dalam kendali syarikah.
“Penataan berbasis syarikah ini justru akan memperkuat efektivitas layanan. Jadi memang Kementerian Haji itu strict (ketat). Harus berbasis syarikah. Harapan mereka lebih efektif diberikan, terutama fase Armuzna, ya, ini fase yang paling krusial,” tambahnya.
Dalam hal kemanusiaan, Kemenag juga telah berkoordinasi dengan delapan syarikah agar jemaah dengan kebutuhan khusus, seperti lansia, disabilitas, serta suami-istri yang berangkat bersama, dapat diinapkan di hotel yang sama. Upaya ini mendapat perhatian serius dari para syarikah.
“Faktor kemanusiaan itu tidak bisa diabaikan. Mereka sangat memperhatikan itu,” pungkas Muchlis. (DL/GPT)