Salah Kaprah Memahami Konsep ‘Islam Wasathiyyah’ : Antara Moderat, Liberal dan Radikal?

167
Ilustrasi. Images: Pexels.com

Moslemtoday.com : Belakangan ini, kata-kata “moderat” yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab menjadi wasathiyyah menjadi kata-kata yang bertendensi mengangkat satu kelompok tertentu dan menjatuhkan sekelompok yang lain. Kata-kata ini biasanya digunakan sebagai antonim bagi fundamentalisme dan absolutisme.

Bahkan, secara salah kaprah, wasathiyyah digunakan untuk mengkategorikan orang-orang yang bertindak dan berpikir secara liberal dalam beragama. Sementara kelompok yang secara konsisten menjalankan ajaran Islam dianggap sebagai radikal.

Istilah wasathiyah ini biasanya digunakan dengan menggunakan dasar dalil dari Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 143.

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا

Artinya: “Dan yang demikian ini Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) sebagai umat pertengahan agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas perbuatan kalian.”

Ayat inilah yang seringkali dieskploitasi tidak pada tempatnya sehingga mengesankan bahwa mereka yang dicap radikal, fundamentalis, literalis, dan label-label stigmatis dan stereotyping lain yang memojokkan sebagian gerakan Islam dianggap telah melanggar ayat ini. Padahal, kalau ditelusuri secara saksama, kata-kata wasathan dalam ayat tersebut memiliki arti yang sangat tidak tepat bila digunakan sebagai cap-cap di atas.

Tulisan ini akan menelusuri makna dari washatan dalam ayat tersebut dan relevansinya dalam kehidupan kontemporer berdasarkan penelusuran terhadap kitab-kitab tafsir mu‘tabar.

Makna Al-Wasath

Secara bahasa, kata wasath berarti sesuatu yang ada di tengah. Dalam Mufradât Al-fâzh Al-Qur’ân Raghib Al-Isfahani (Jil. II; entri w-s-th) menyebutkan secara bahasa bahwa kata wasath ini berarti, “Sesuatu yang memiliki dua belah ujung yang ukurannya sebanding.”

Kata ini juga bisa bermakna sesuatu yang terjaga, berharga, dan terpilih. Sebab, sesuatu yang ada di tengah-tengah tidak mudah untuk dijangkau secara langsung sehingga memungkinkannya untuk menjadi tempat menyimpan hal-hal yang berharga dan baik. Seperti kata “tengah kota”. Kata ini menunjukkan tempat yang paling baik dan paling berharga dari suatu kota. (Al-Tahrir wa Al-Tanwîr Jil. II hal. 17).

Sementara itu, makna wasath dalam ayat di atas terdapat beberapa penjelasan.

Fakhrudin Al-Râzi menyebutkan ada beberapa makna yang satu sama lain saling berdekatan dan saling melengkapi.

Pertama, wasath berarti adil. Makna ini didasarkan pada ayat-ayat yang semakna, hadis nabi, dan beberapa penjelasan dari sya’ir Arab mengenai makna ini. Berdasarkan riwayat Al-Qaffal dari Al-Tsauri dari Abu Sa’id Al-Khudry dari Nabi Saw. bahwa ummatan wasathan adalah umat yang adil.

Kedua, wasath berarti pilihan. Al-Râzi memilih makna ini dibandingkan dengan makna-makna lainnya, karena beberapa alasan antara lain: kata ini secara bahasa paling dekat dengan makna wasath dan paling sesuai dengan ayat yang semakna dengannya yaitu ayat, “Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan ke tangah manusia…” (QS Ali Imrân [3]: 110).

Ketiga, wasath berarti yang paling baik.

Keempat, wasath berarti orang-orang yang dalam beragama berada di tengah-tengah antara ifrâth (berlebih-lebihan hingga mengada-adakan yang bbaru dalam agama) dan tafrîth (mengurang-ngurangi ajaran agama). (Tafsîr Al-Rârî, Jil. II hal. 389-390).

Makna-makna di atas tidak bertentangan satu sama lain. Oleh sebab itu, Syeikh Abdurrahman Al-Sa’di dalam tafsirnya menyimpulkan bahwa ummat wasath yang dimaksud adalah umat yang adil dan terpilih. Allah Subhanahu Wata’ala telah menjadikan umat ini pertengahan (wasath) dalam segala urusan agama (dibanding dengan agama-agama lain) seperti dalam hal kenabian, syari’at, dan lainnya.

Umat islam ini adalah umat yang paling sempurna agamanya, paling baik akhlaknya, paling utama amalnya. Allah Subhanahu Wata’ala telah menganugerahi ilmu, kelembutan budi pekerti, keadilan, dan kebaikan (ihsân) yang tidak diberikan kepada umat lain. Oleh sebab itu, mereka menjadi “ummatan wasathan”, umat yang sempurna dan adil agar “mereka menjadi saksi bagi seluruh manusia.” (Taisîr Al-Karîm Al-Rahmân fî Tafsîr Kalâm Al-Mannân Jil. I hal. 70).

Dari penjelasan para ahli tafsir mengenai makna wasath dalam ayat di atas dapat disimpulkan bahwa sifat wasath yang disematkan pada umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam adalah sesuatu yang melekat sejak umat ini menerima berbagai petunjuk dari Nabi-Nya. Ini merupakan karunia Allah Subhanahu Wata’ala . kepada mereka. Saat mereka konsisten menjalankan ajaran-ajaran Allah Subhanahu Wata’ala ., maka saat itulah mereka menjadi umat terbaik dan terpilih. Oleh sebab itu, Rasyid Ridha mengaitkan kata ummatan wasathan ini dengan ayat sebelumnya, yaitu “…yahdî man yasyâ’u ilâ shirâth al-mUstadaqîm (…Dialah yang akan memberi petunjuk kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya menuju jalan yang lurus). Bila dikaitkan dengan ayat sebelumnya, maka umat terbaik, terpilih, dan moderat adalah mereka yang diberi petunjuk oleh Allah Subhanahu Wata’ala ke jalan yang lurus (Tafsîr Al-Manâr Jil. II hal 4).

Jalan yang lurus (sirâth al-mUstadaqîm) ini, sebagaimana dijelaskan dalam surat Al-Fatihah, adalah jalan tengah di antara jalan orang-orang yang dibenci (Yahudi) dan orang-orang yang sesat (Nashrani).

Setelah memperhatikan makna ummh al-wasath yang berarti umat yang secara konsisten perpegang pada petunjuk Allah Subhanahu Wata’ala . (al-shirâth al-mUstadaqîm), dapat kita fahami bahwa makna dari wasath ini sifatnya sesuatu yang sudah dipatenkan dalam Al-Quran sendiri, bukan makna yang diberi sifat baru.

Dalam hal ini, Al-Quran telah menetapkan bahwa ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari al-Quran dan al-Sunnah adalah ajaran yang adil, terbaik, terpilih, dan moderat sehingga umat yang secara konsisten melaksanakannya, maka secara otomatis dia akan menjadi umat yang sifatnya sama dengan ajaran yang dilaksanakannya.

Berdasarkan penjelasan di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa bertindak moderat (wasathiyah) sesuai dengan petunjuk Al-Quran dan As-Sunnah adalah dengan cara secara konsisten mengikuti hidayah (petunjuk) yang diajarkan oleh Allah Subhanahu Wata’ala  melalui Nabi-Nya dan ditransmisikan melalui para ulama yang saleh. Semakin kita taat dan tunduk pada ajaran Allah Subhanahu Wata’ala ., maka kita sebetulnya semakin moderat. Sebab, ajaran Islam itu sendiri telah membawa karakternya yang moderat sejak diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam.

Siapa yang mengikuti ajaran-ajaran yang moderat ini secara konsisten, maka dialah yang layak disebut sebagai ummatan washathan (umat moderat). Wallâhu A’lam.

Disadur dari tulisan: Dr. Tiar Anwar Bachtiar, peneliti Insitute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS) dengan judul : “Menjernihkan Makna Moderat”, https://insists.id/menjernihkan-makna-moderat

comments

Mari bergabung bersama WA Grup dan Channel Telegram Moslemtoday.com,
Klik : WA Grup & Telegram Channel


LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here