Politikus PDIP, Guntur Romli, menegaskan bahwa partainya tidak mempermasalahkan pemberian gelar pahlawan nasional kepada tokoh lain seperti Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan aktivis buruh Marsinah. Namun, ia menilai penyematan gelar yang sama kepada Soeharto merupakan bentuk pengkhianatan terhadap perjuangan reformasi.
“Bagi kami, pemberian gelar pahlawan bagi Soeharto sama saja dengan mengkhianati Reformasi 1998,” ujar Guntur melalui pesan WhatsApp, Selasa, 11 November 2025.
Menurut Guntur, Soeharto merupakan simbol pemerintahan otoriter yang berakhir dengan kejatuhannya akibat gerakan rakyat pada 1998. Ia juga menilai tidak pantas jika sosok seperti Gus Dur—tokoh pluralis dan demokratis—serta Marsinah—simbol perjuangan buruh—disejajarkan dengan Soeharto.
“Bagaimana mungkin aktivis buruh seperti Marsinah dan Gus Dur yang merupakan tokoh pluralis dan demokratis disandingkan dengan Soeharto yang dinilai sebagai representasi pemerintahan otoriter,” kata Guntur.
Lebih lanjut, Guntur menyinggung putusan pengadilan yang mewajibkan keluarga Soeharto mengganti kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi. Menurutnya, pemerintah seharusnya menagih kewajiban tersebut, bukan justru memberikan penghargaan tertinggi kepada mantan presiden tersebut.
“Negara dan pemerintah harusnya menagih kepada Soeharto dan ahli warisnya ganti rugi triliunan sebagaimana putusan pengadilan, bukan malah memberikan gelar pahlawan,” tegasnya.
Meski menuai kritik, Presiden Prabowo Subianto tetap menetapkan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional bersama sejumlah tokoh lainnya. Penganugerahan itu tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 116/TK/Tahun 2025 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional.
Keputusan ini memicu polemik di kalangan publik, terutama di antara kelompok pro-reformasi yang menilai langkah tersebut mengaburkan sejarah perjuangan rakyat melawan rezim otoriter Orde Baru.






